17 November, 2010

Candu baru namanya SELI=sepeda lipatku

Laptop, Smartphone, iPod, PDA, Blackberry, sudah jamak ditenteng kalangan profesional muda di metropolitan. Peranti yang mencitrakan technology savvy bagi penggunanya itu memang terkesan plug in bagi para eksekutif “meltek” (melek teknologi).

Tapi, selalu ada yang kurang, instrumen teknologi itu tidak bisa mewakili simbol sporty, meski pemakainya rajin ke fitness center.

Lalu, pencarian kaum takut matahari –- berangkat kerja saat matahari belum terbit dan pulang kantor saat matahari sudah tenggelam — ini bertemu dengan sepeda lipat, alias folding bike.

Kereta angin yang bisa dilipat jadi 3–5 bagian ini menjadi pilihan tentu saja bukan karena harganya yang lumayan (Rp 2 juta – puluhan juta), tapi lebih karena bisa mewakili sisi sportif.

Selain itu, sepeda lipat ringkas dan ringan dibawa. Bagasi mobil mini saja bisa membawa dua sepeda lipat. Bahkan, bisa dilipat saat naik bus Transjakarta. Saat jalan macet, tinggal dibuka dan genjot. Praktis.

sepeda-2.jpg

Bagaimana mereka memakai gadget baru itu? Setelah jam kantor, di saat weekend, adalah waktu ideal para monorers (penyepeda). Mereka juga sering bersepeda sambil berwisata kuliner.

Boleh dibilang, sebagian pemakai sepeda lipat bergabung dalam milis id-foldingbike — sebuah milis yang dimotori oleh para pengguna Blackberry, yang bernaung di milis id-blackberry.

Sambil touring biasanya para monorers juga tetap berkomunikasi menggunakan gadget elektroniknya, bahkan berkirim foto, untuk bikin keki yang lain yang kebetulan nggak lagi gabung. Makanya, ada yang bilang gadget dan folding bike sudah tak terpisahkan.

Lho? “Lha iya kan, folding bike kan juga sudah jadi salah satu gadget, melengkapi gadget-gadget lain yang ada,” ujar salah satu teman yang sudah punya Blackberry dan tergolong sepeda lipat addicted.

Yang unik, jika harga gadget bekas makin turun, tidak demikian halnya dengan harga folding bike. Contohnya, harga sepeda Dahon Curve D3 yang lucu dan digemari para penyepeda perempuan, di 2008 harga bekasnya malah lebih tinggi 25 persen ketimbang harga baru 2007.

Dan seperti halnya menggemari gadget, gadget nonelektronik ini pun bisa bikin kecanduan. Kecanduan untuk mempercantik penampilannya, tambah aksesori ini dan itu, upgrade perfomanya, ganti model yang lebih canggih, dan sebagainya. Apalagi jika pengedar ”racun”-nya beredar di sekitar kita dan di gadget elektronik kita.

Dan, aku pun sudah mulai kecanduan ….

04 Agustus, 2009

Pejabat dan Manajemen Pelayanan Publik

Oleh: Yanuar Rachmansyah
Deputi Akademik MM STIE Bank BPD
( Koran WawASAN 2006)

Ada satu hal yang menarik di awal tahun baru 2006 yaitu sambutan Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto saat melantik para pejabat eselon di lingkungan Pemprov Jawa Tengah dimana dalam sambutannya itu Gubernur berharap dan meminta para pejabat peningkatan serta menciptakan pelayanan yang prima dengan mengedepankan keramahan dan kecepatan pelayanan (SM,3/1/06).
Ini merupakan sambutan Gubernur kesekian kali yang ditujukan kepada para pejabat terkait dengan hal tersebut karena Gubernur tahu betul kondisi apa yang terjadi dalam proses pelayanan publik lembaga-lembaga didaerah yang menjadi tanggung jawabnya. Mengenai hal ini, seperti yang kita ketahui bersama bahwa pelayanan pada sektor publik terutama pelayanan kepada masyarakat saat ini di berbagai lembaga atau daerah-daerah cenderung untuk belum dikelola secara serius, sehingga berbagai daerah di Indonesia, layanan publik selalu menjadi sumber dari berbagai keluhan, seperti halnya PDAM, PLN, , pembuatan KTP, SIM, layanan Perbankan dan sebagainya. Lagi-lagi masyarakat akan menjadi “korban”.
Walaupun berbagai lembaga/instansi tersebut telah berupaya untuk menyempurnakan mekanisme pelayanan kepada publik atau secara khusus memang telah dibentuk badan untuk menangani hal tersebut, namun upaya itu belum dilakukan secara terintegrasi. Yang kita lihat dan masyarakat rasakan adalah sering terjadinya penurunan kualitas pelayanan terhadap publik padahal kuantitas pelayanan publik semakin meningkat dan kompleks. Kalau hal ini dibiarkan, maka pelayanan kepada publik, apalagi anggota masyarakat kelas bawah akan semakin jauh dari harapan atau keterjangkauan. Kenapa ? karena ujung-ujungnya pelayanan publik yang seharusnya dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, berganti dengan pelayanan yang “berkelas”. Ada pelayanan kelas satu atau kelas dua atau ada pelayanan jalur “Tol” dan jalur “biasa” (Bumel). (AB Susanto).
Kalau hal tersebut terjadi (dan dinegara kita memang sudah pasti terjadi) maka terjadinya keadaan ini sudah menyalahi dari fungsi pemerintah sendiri yang sebenarnya yakni menjadi pelayan masyarakat, yang salah satunya memberikan pelayanan terhadap aspek yang menyangkut kepentingan publik kepada masyarakat melalui sistem manajemen yang berorientasi pada hasil layanan berkualitas. (Service execellent)

Kendala Layanan Publik
Era otonomi daerah yang sudah berlangsung beberapa tahun ini menuntut pemerintah daerah untuk sesegera mungkin memenuhi tuntutan masyarakat berkaitan dengan layanan publik. Wajar saja manakala para anggota masyarakat berharap bahwa era ini menjadikan setiap daerah mampu menciptakan mekanisme sedemikian rupa sehingga pelayanan yang diberikan kepada mereka mengalami perbaikan mutu.
Akan tetapi, secara umum yang terjadi dan dirasakan adalah justru degradasi kualitas. Ditambah lagi, pemberlakuan era otonomi daerah malah menjadikan setiap daerah merasa wajib mengupayakan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dimana salah satu sumbernya adalah dari pengenaan beragam biaya kepada berbagai aktivitas yang terkait dengan pelayanan kepada publik atau setidaknya kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan perekonomian. Mengapa hal ini terjadi?, berdasarkan analisis kami, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama adalah budaya paternalisme dan feodalisme pada sistem birokrasi pemerintah. Sekalipun hal ini tidak dapat senantiasa disalahkan dan tidak sepenuhnya benar, namun dalam kenyataannya sikap mental merasa menjadi “priyayi” dan bapak yang harus dihormati membuat seseorang aparat birokrasi merasa tidak perlu memberikan pelayanan yang baik serta tidak ada salahnya untuk memposisikan diri sebagai pihak yang justru harus dilayani sekalipun tersamar. Sikap mental ini pastilah memberikan efek buruk yang signifikan atas tidak bagusnya mutu pelayanan kepada publik. Ingat, yang dibutuhkan dalam hal ini adalah mental sebagai “abdi praja” bukan “pangreh praja”!
Faktor kedua adalah keterbatasan terutama kualitas (dan kadang-kadang kuantitas) sumber daya manusia yang ada demikian juga penguasaan teknologi semisal komputer yang masih melingkupi sebagian diantara pegawai dalam jajaran birokrasi. Rendahnya kualitas sumber daya manusia karena kurangnya penguasaan teknis atas pekerjaan yang menjadi bidang tugasnya dan juga latar belakang pendidikan yang memadai memberikan sumbangan peran yang tidak baik akibatnya bagi kualitas pelayanan yang dapat diberikan. Seorang pegawai dalam jajaran birokrasi yang tidak menguasai bidang pekerjaannya sudah dapat dipastikan bahwa ia akan lamban dalam menjalankan tugasnya serta tidak memuaskan hasil pekerjaannya. Sementara, kurangnya bekal pendidikan yang memadai dan relevan menjadikan ia kesulitan untuk menangkap pengetahuan baru terkait dengan bidang tugasnya serta lambat melakukan penyesuaian. Padahal, kita ketahui bersama bahwa kemampuan beradaptasi dengan pengetahuan baru adalah sebuah kekuatan. Seandainya faktor kelemahan kedua ini terpadu dengan yang pertama, alangkah buruknya mutu pelayanan kepada publik suatu daerah.
Sedangkan yang ketiga adalah munculnya pelayanan berkelas, generik atau spesialis. Dalam arti, kepada pengguna jasa yang mampu memberikan imbalan lebih diluar imbalan yang seharusnya kepada oknum pegawai ia akan menikmati pelayanan kelas satu serba cepat. Adapun kepada kalangan biasa yang hanya mampu memberikan imbalan biasa saja sebagaimana mestinya, pelayanan yang diberikan seringkali tidak punya kelas, buruk, dan sengaja diperlamban. Ini adalah akibat yang timbul karena nakalnya seorang oknum dalam memandang keadaan sebagai peluang usaha kreatif.

Jangan Kehilangan Momentum
Oleh karena itu, momentum tahun 2006 yang baru berjalan ini hendaknya dimanfaatkan oleh semua personal pada lembaga yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada publik untuk melakukan perbaikan atas kinerjanya senyampang (mumpung) masyarakat masih bersedia mempercayainya. Cara berfikir bahwa pejabat dan pegawai negeri harus dilayani (pangreh praja) harus dirubah dengan meyakini bahwa mereka adalah pelayan masyarakat (abdi praja), karena fungsi utama pemerintah salah satunya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat (public servant) melalui administrasi publik yang berorientasi pada hasil layanan yang berkualitas.
Berdasarkan kesimpulan dari word development report pada tahun 2004, pelayanan publik di Indonesia sangat sulit diakses oleh rakyat miskin (Kompas 23/0.05). Ini tidak boleh terjadi karena rakyat miskin merupakan komponen utama pembentuk negara ini. Pejabat atau bahkan pemerintah bisa kehilangan legitimasinya di hadapan rakyat manakala kondisi ini terus terjadi. Tentunya hal ini adalah keadaan yang tidak diinginkan karena ini adalah pertanda yang tidak sehat bagi suatu negara.
Jangan sampai tahun 2006 ini kembali disia-siakan lagi seperti sebelumnya. Sudah terlalu lama rakyat merindukan pemerintahnya mampu berbuat sesuatu yang berharga pada mereka. Inilah saatnya untuk membuktikan, setidaknya memulai!

Solusi
Karena layanan publik yang ada dilembaga pemerintahan kurang dari atau jauh dari harapan masyarakat, maka pemerintah sebagai bentuk organisasi birokrasi yang cukup tua dan berpengalaman perlu sedikit demi sedikit berusaha memperbaiki citra pelayanan kepada publik. Tidak hanya sekedar merubah paradigma seperti dijelaskan diatas namun butuh solusi konkrit yang bisa diterima masyarakat. Ada beberapa opsi yang harus dilakukan dalam mengiliminir atau mengurangi akibat buruknya pelayanan publik. Faktor pertama adalah me-reformasi sistem pelayanan publik yang terintegrasi, seperti yang diterapkan dibeberapa kabupaten Jawa Tengah. Reformasi pelayanan publik menyangkut perubahan pada aspek sistem, prosedur dan teknis pelayanan yang sekiranya dalam masyarakat paling banyak mendapat keluhan. Reformasi pelayanan publik harus melibatkan semua komponen masyarakat (stake holder) sehingga kelak ketika terjadi kegagalan layanan publik, hal itu akan menjadi tanggung jawab bersama. Pejabat atau komponen personel kelembagaan dalam pemerintah tidak dapat disalahkan. Reformasi pelayanan publik juga menyangkut aspek kontinyuitas layanan dan sistem monitoring layanan kepada publik seperti misalnya pejabat harus sesering mungkin melakukan inspeksi mendadak sebagai bentuk kontrol atas pelayanan publik kepada masyarakat ataupun aparat yang menjadi tanggung jawabnya tetapi dengan syarat tanpa ada pemberitahuan terlebih dulu sehingga sidak tidak bocor. Pendekatan ini (inspeksi mendadak), sangat klasik memang kelihatannya, namun paling tidak sidak yang dilakukan pejabat atau pemerintah benar-benar memberikan shock terapy baik bagi pejabat serta petugas pelayanan untuk selalu sedia dalam melayani atau masyarakat yang harus taat kepada prosedur pelayanan publik. Karena bagaimanapun munculnya ”kelas” dalam pelayanan juga disebabkan bukan semata-mata oknum petugas tapi karena keinginan oknum masyarakat. Sidak akan berguna manakala pejabat melihat sendiri bahkan merasakan bentuk-bentuk pelayanan yang diberikan lembaganya kepada masyarakat serta memperbaiki segala kelemahan dan kekurangan demi kesempurnaan dalam pelayanan publik.
Faktor kdua adalah Privatisasi layanan publik, kebijakan ini akan diambil manakala terjadi kegagalan birokratisasi layanan publik dimana birokrasi memang telah gagal untuk memenuhi tuntutan masyarakat dalam menyediakan layanan publik sehingga pelayanan publik harus diserahkan kepada pihak yang berkompeten dan profesional. Mode pengelolaan ini merupakan mode yang sedang menjadi kecenderungan global. Ada beberapa syarat memang yang harus diperlukan dalam penetapan privatisasi kalau pemerintah menyerahkan pelayanan publik pada swasta/profesional, namun langkah ini dilakukan karena terkait dengan masalah tata cara pengelolaan (Governance), sehingga mau tidak mau privatisasi – atau dalam organisasi korporasi disebut outsourching-harus dilakukan.
Faktor ketiga yang tidak boleh dilupakan adalah menciptakan mekanisme oraganisatoris yang menjadikan setiap aparat dengan bidang tugas terkait dengan pelayanan kepada publik termotivasi untuk memberikan yang terbaik. Sepanjang kondisi yang ada dalam tatanan kepegawaian tidak dapat membedakan imbalan dan hukum kepada mereka yang kinerja pelayanannya bagus serta buruk, selama itulah kualitas pelayanan sulit diharapkan menjadi baik. Bagi mereka, tidak ada gunanya melayani dengan baik atau santai, toh dalam kenyataan imbalan yang diterima sama saja dengan yang lain. Memang, selaku orang luar penulis belum jelas mengetahui bagaimanakah sesungguhnya mekanisme imbalan dan hukuman dalam hal ini. Namun, ada baiknya mekanisme yang telah ada makin disempurnakan. Kalau perlu dengan melibatkan konsultan dalam bidang manajemen sumber daya yang telah mempunyai reputasi handal guna merumuskannya.
Sekalipun demikian, semua yang dipaparkan di atas hanyalah saran yang dinilai logis. Pada kahirnya, bagaimana pelaksanaannya tergantung kepada kebijakan masing-masing pemerintah daerah. Karena setiap daerah memiliki pernik-pernik permasalahan yang tidak sama satu dengan lainnya. Satu hal yang pasti harus diupayakan adalah komitmen untuk memperbaiki pelayanan kepada publik entah bagaimana cara atau terobosan yang diterapkan. Yang terpenting adalah kualitas layanan publik dalam pemerintahan harus mencerminkan aspek demokrasi berorientasi pada publik (Public Oriented). Oleh karena itu tidak ada salahnya kalau Gubernur Mardiyanto dalam sambutannya-sekali lagi-berharap bahwa pejabat lebih mengedepankan pelayanan kepada publik sehingga apa yang menjadi harapan Gubernur bahwa Jawa Tengah pada tahun 2006 akan bisa memasuki era daya saing dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat menjadi kenyataan. Semoga!

03 Agustus, 2009

MENCARI FORMAT PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

Mengingat masa kelam Orde Baru yang sering disebut ”orde pembangunan”, membuat pedih. Timbul pertanyaan mengganjal pada benak kita , apakah pembangunan akan selalu membawa destabilisasi? Sebuah proses yang mengakibatkan disparitas sosial-ekonomi membesar akibat laju modernisasi dan industrialisasi, serta menguntungkan sebagian kecil masyarakat?Rasanya masih seperti kemarin, jargon pembangunan begitu ”suci” sehingga atas namanya menjadi ”sahih” merampas hak-hak asasi manusia. Beberapa kasusu muncul yang mengatas namakan pembangunan antara lain Kedung Ombo, Nipah, Jenggawah, dan berbagai penggusuran yang mengatasnamakan ”pembangunan”. Berkecamuk pertanyaan, apakah untuk mencapai kesejahteraan harus selalu ada ”tumbal” (jer basuki mawa bea)? Timbul pula pertanyaan yang menggelisahkan, apakah sebuah ketakterhindaran (inevitability) historis, pembangunan selalu mengorbankan kebebasan manusia?

Padahal menurut Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan, ujar Sen, adalah se-suatu yang "bersahabat". Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).

Asumsi dari pemikiran Sen, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas.

Diakibatkan keterbatasan akses, ujar Sen, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat di-lakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.

Temuan lapangan di Indonesia, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Amartya Sen. Lesson learned yang diperoleh dari Yayasan Pemulihan Keberdayaan Ma-syarakat (konsorsium 27 ja-ringan dan ornop besar yang membantu masyarakat keluar dari krisis), menyimpulkan, pe-nyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi yang tak merata menyebabkan rakyat miskin tak dapat mengembangkan usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tak menguntungkan mereka.

Tesis yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom). Hal itu, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).

Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris. Yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).

Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat. Selama Orde Baru, secara sadar maupun tak sadar, telah terjadi ”kesalahan” besar yang dibuat bersama-sama. Dari tahun ke tahun, lembaran buku GBHN dan Pelita yang dicanangkan pemerintah makin tebal. Masyarakat profesi, para pakar maupun berbagai organisasi masyarakat, berlomba-lomba merumuskan berbagai persoalan, lalu diserahkan pada pemerintah.

Dengan demikian, masyarakat telah ”menyerahkan” kemandirian yang dimiliki, sehingga pemerintah semakin memiliki kekuatan, legitimasi, dan kedaulatan untuk melakukan berbagai hal (bahkan menjadi leviathan). Tragisnya, masyarakat merasa lega karena tak mengerjakan apa-apa, sebab semuanya telah diserahkan pada pemerintah. Meski sebenarnya, telah ”melumpuhkan” diri sendiri.

Pemerintah yang makin percaya diri, lalu merumuskan berbagai program dan proyek untuk dikerjakan. Feasibility studies (baca: penelitian pesanan) lalu dikerjakan oleh para ”intelektual tukang” maupun konsultan asing, untuk mengkreasi dan menjustifikasi urgensi adanya berbagai proyek. Lalu, utang pun digelontorkan. Berbagai proyek tiba-tiba bertebaran. Masyarakat pun melalui desas-desus akhirnya mengetahui dan mahfum, siapa di balik proyek. Tentu, tak jauh dari lingkaran kekuasaan. Sebagai sebuah proyek, tentu mempunyai batas waktu. Dan akhirnya, dengan berakhirnya berbagai proyek dan usailah sudah semuanya. Dalam waktu singkat, berbagai proyek yang ada terbengkalai. Rakyat yang tak dilibatkan dalam proses, meski proyek tersebut ”ditujukan” untuk mereka, namun akibat tak ada rasa memiliki, rakyat pun tak peduli.

Begitulah, secara umum kondisi rakyat Indonesia menjadi lemah, terlemahkan, dan dilemahkan. Keberdayaan rakyat (civil society), lalu tertinggal. Namun, apakah rakyat benar-benar mengalami kelumpuhan sepenuhnya? Agaknya tidak. Krisis ekonomi, justru menunjukkan ”kedigdayaan” rakyat.

Pukulan krisis, membuat pertumbuhan ekonomi merosot -13,7% (1998), padahal tahun sebelumnya tumbuh +4,9%. Dengan kata lain, dalam satu tahun ekonomi Indonesia anjlok -18,6%. Namun dua tahun kemudian, ekonomi nasional telah tumbuh 4,8% (Seda, 2002). Anehnya, pada masa itu sedang terjadi capital flight sekitar $ 10 miliar per tahun, usaha-usaha besar ambruk, sedangkan investasi asing tak mau masuk akibat situasi sosial politik yang belum menentu.

Fenomena ini tentu membingungkan penganut ekonomi ortodoks, sebab dalam hitungan makro ekonomi mereka, hal ini tak mungkin terjadi. Dan akhirnya disadari, usaha-usaha ekonomi rakyat yang sering disebut usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ternyata telah menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan krisis. ”Investasi ekonomi rakyat” (underground economy) yang kerap dipandang dengan sebelah mata, ternyata justru menunjukkan kekuatannya.

Babakan sejarah yang pahit itu, kini secara berangsur telah ditinggalkan. Setidaknya, babakan itu menyadarkan bahwa orientasi production centered development yang menekankan pertumbuhan, investasi asing dan haus akan utang luar negeri, ternyata memiliki banyak kelemahan. Kue pembangunan ternyata hanya dikuasai sebagian kecil masyarakat, sementara kesenjangan melebar, dan pembangunan pun rapuh tak berakar (bubble economy).

Tujuan pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bersama, maka cara untuk mencapainya pun seharusnya melalui upaya-upaya pencapaian kesejahteraan bersama. Cara sudah seharusnya konsisten dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai demokrasi, tak ada jalan lain kecuali memakai cara-cara yang demokratis. Demikian pula, untuk mencapai kehidupan yang manusiawi, tentu harus dicapai dengan cara yang manusiawi pula.

Memfokuskan diri pada kesejahteraan rakyat, tentunya harus melalui jalan dari pembangkitan kekuatan rakyat itu sendiri atau dalam terminologi Korten disebut people centered development. Produksi juga merupakan bagian penting dalam pendekatan ini, namun bukan tujuan utama. Ikhwal menetapkan tujuan utama (goal), merupakan hal strategis yang tidak netral dan bebas nilai, sebab akan mempengaruhi paradigma (mindset) berpikir, metodologi dan pengorganisasian pencapaian tujuan. Pendekatan people centered development, menekankan pertumbuhan manusia (aktualisasi potensi manusia), pemerataan, keberlanjutan (sustainability), dan semangat kemandirian masyarakat sendiri.

Agenda ke Depan

Kini kita menghadapi persoalan konkret. Usaha-usaha besar, karena mendapat berbagai privilese tumbuh dengan cepat, namun kemudian ambruk. Usaha-usaha ekonomi rakyat, memang terbukti mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis, namun tetap berjalan tertatih-tatih karena keterbatasan akses. Begitulah, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, setidaknya kedua modal itulah yang kini kita miliki.

Menyadari adanya dua modal tersebut, perlu ada transformasi agar kedua sektor usaha tersebut bisa berkembang (dual track), yaitu melalui pemberian akses dan peluang yang sama pada kedua sektor usaha tersebut. Dengan cara demikian, sektor usaha besar yang hidup dari kronisme, rente ekonomi dan fasilitas, mau tak mau harus berkompetisi secara sehat, sebab bila tidak akan jatuh. Sementara usaha besar yang berusaha secara wajar dan kompetitif, akan bisa terus berkembang. Sedangkan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), agar bisa memanfaatkan berbagai akses dan peluang yang ada, diperlukan pula adanya upaya peningkatan kapasitas (capacity building).

Dan perlu disadari, akibat adanya ”dualisme ekonomi” sektor kecil ini tak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai institusi modern. Bahkan seringkali, sektor modern justru makin meminggirkan mereka. Salah satu institusi modern yang sangat sulit diakses oleh UMKM, adalah perbankan.

Meski memobilisasi tabungan dari masyarakat luas, namun pelayanan pembiayaan bank lebih dimanfaatkan sektor besar. Akibatnya, acapkali institusi modern ini justru meningkatkan adanya kesenjangan. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan berbagai institusi modern yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat kompatibel dengan nilai-nilai dan budaya setempat agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.

Demikianlah, dengan berbagai keterbukaan dan peluang, di mana masyarakat mempunyai kebebasan untuk memilih, maka masyarakat dapat mengembangkan berbagai potensi produktif mereka. Dengan demikian, pembangunan akan berkembang secara dinamik berdasar kekuatan masyarakat sendiri. Bila masyarakat telah tumbuh dan berdaya, maka pembangunan akan berurat berakar (rooted) pada rakyat, sehingga makin kuat dan kokoh menyangga bangsa ini.

(Dimuat di Sinar Harapan, 29 April 2003)

Oleh: Setyo Budiantoro -- Direktur Kajian Ekonomi dan Pembangunan Center for Humanity and Civilization Studies (CHOICES) dan staf Ketua LSM Bina Swadaya.

02 Agustus, 2009

Besar sampel uji hipotesis
Download file

15 Januari, 2009

BICARA TAMAN,CONTOH KOTA MALANG

Ada pandangan berbeda ketika aku menginjak kota Malang. Kota nan asri, hijao ,bersih dan banyak taman-taman disetiap sudutnya Sudah 10 tahun lebih aku ga menginjak kota malang, tepatnya tahun 1994 . Namun secara umum tidak ada yang berebeda dan tetap konsisten untuk mempertahankan pelestarian lingkungan, walau hanya taman-taman kecil nan cantik.
Wajah kota Malang tidak hanya di poles dengan berdirinya Mall mall baru, tapi ada penyeimbang diantara keduanya, sehingga yang terjadi bisa kita lihat perpaduan kota moderen dengan tidak mengabaikan penataan kota yang masih bersahabat dengan lingkungan.
Namun anda akan kaget dan berbeda ketika menginjak pemandangan kota-kota lainnya. Hampir semua kota-kota di Indonesia ,kurang memikirkan aspek pelestarian lingkungan dalam menata kotanya. Semua -sekali lagi- atas nama RTRW, bangunan-bangunan taman justru di bongkar.
Simak saja di kota Semarang,dulu samping hotel Siliwangi ada taman sebagai ruang publik dan resapan air namun sekarang sudah menjadi bagian perluasan hotel tersebut. Ga tahu prosesnya bagaimana, tapi yang jelas ada sisi yang "hilang" dari potret kebijakan pelestarian kota. Apalgi ide gubernur Suwardi saat itu yang akan menjadikan "Taman KB" sebuah bangunan megah..merupakan bukti keberpihakan Pemerintah terhadap lingkungan rendah...untungnya ide tersebut di "tolak" mentah2 oleh masyarakat.
Dulu ada Walikota Gila Taman alias WAGIMAN di era Sutrisno Suharto dimana instruksinya tiap warga harus menyediakan taman...tapi entah sekarang juga hangus kebijakan itu...kini semarang ta seindah dulu...gersang...panaz...
Di kota Purwokerto juga ada ruang publik hijau menjadi peruntukan bagi bisnis, di Slawi juga ada Daerah aliran sungai(DAS) yang sejak saya kecil itu adalah DAS tapi di papras/disulap habis menjadi bagian pabrik teh ternama di kota Slawi. Wualah..wualllahhhh

10 Januari, 2009

PERGESERAN MAKNA PEMBANGUNAN

Pembangunan bagi sebagian orang dianggap sebagai sebuah keberhasilan. Tentunya setuju aja ya kalo bermanfaat bagi masyarakat banyak, tapi apa yg terjadi saat ini,pembangunan ibarat serigala yang ganas, menerjang masyarakat marginal , yang kemudian memunculkan aspek pemiskinan kepada rakyat kecil. mo bukti ? banyak lah ga usah di uraikan....
Aspek pelestarian lingkungan yang tidak dipikirkan secara matang-matang oleh pemerintah kita, sehingga yang terjadi bisa kita rasakan sekarang. Semua jalan dan lingkungan kita sangat minim dengan penghijauan..tidak lagi kita melihat betapa indahnya pepohonan di kanan kiri kita yang asri. Justru yang terjadi sekarang adalah banyak bencana banjir , bencana alam ,dll. Bencana banjir dimana-mana, ga cuma jakarta,pontianak, samarinda, semarang, pekalongan dan bandung. Yang terjadi sekarang justru ,pohon di jalan-jalan besar ditebang dengan alasan"pembenaran " bagi pelebaran jalan , kanan kiri beton keras. kalo toh ada tanaman paling-paling cuma penghias.....
Ketersedian taman sebagai ruang publik sangat minim.....karena hampir semua RTRW kiita baik ditingkat kabupaten/ kota maupun propinsi tidak menyisakan tempat bagi ruang publik.... semua"bicara " menjadi ruang biznis.studi kelayakan lah...analisis kelayakanlah...Studi potensi ekonomilah.....pokoknya yang secara financial BEP syukur-syukur laba di atas normal.
Ekonomi bukan satu-satunya jalan bagi kemakmuran kalo kita mengabaikan ketersedian taman dan kelestarian lingkungan sebagai daya dukung keberlanjutan BUMI ini. Iitulah pembangunan yang "kadang" tidak mengindahkan pelestarian lingkungan. Pembangunan tidak berorientasi pada kualitas tapi kuantitas sehingga makna pembangunan menjadi biassssss.Oleh karena itu saatnya kita memikirkan pembangunan yang berorientasi lingkungan, yang memahami betul peran lingkungan hijau bagi peningkatan kualitas manusia, namanya pembangunan yang berkelanjutan yang mempunyai dimensi yang luas , jangka panjang sehingga anak cucu kita kelak menikmati arti hakiki sebuah pembangunan manusia seutuhnya...Jadi saling sinergi gitu ...
Maka dari itu, saatnya kita memulai (lagi) gerakan menanam pohon sebagai salah satu wujud bakti dan peduli kita pada lingkungan......berbuat kecil lebih berarti dari pada tidak sama sekali!!!!
Kalo anda punya pohon , silahkan memulai dari diri kita, lingkungan kita dan kota kita. Dengan demikian pada saatnya nanti(kapan ya?) tidak lagi ada pergeseran makna pembangunan, tidak sekedar simbol-simbol formal dalam kebinet ini itu, presiden ini - itu. Semoga.....